Realisme sosialis –dan sastra
lain yang berbau politis dan memihak—kemudian sering direduksi sedemikian rupa
sehingga tidak lagi dipandang sebagai gagasan kreativitas yang humanis. Hal ini
tidak terjadi di Eropa saja melainkan di Indonesiadimana para seniman realisme
sosialis seperti Pramudya Ananta Toer dkk memang pernah terkait dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang punya masalah historis. Agar reduksi yang menjerus
pada sikap subyektifisme/sentimen berlebihan ini bisa jernih maka perlulah
kiranya di telaah lebih mendasar dan ilmiah tanpa perlu berprasangka buruk
terhadap aliran ini.
Seperti halnya ajaran
pemikiran lain, aliran realisme ini mempunyai persoalan historis dalam konsepsi
dasarnya. Ia menjadi antitesis dari paham idealisme yang hanya cukup
mendasarkan diri pada persoalan idea. Dalam tataran filosofis, Obyek yang di
pandang paham idealisme hanya ada dalam akal budi maka sebaliknya kaum realis
berpandangan bahwa obyek presepsi inderawi dan pengertian sungguh-sungguh ada
ada terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya.
Alasan yang paling menonjol
dalam hal ini adalah bahwasanya obyek itu dapat diselidiki, dianalisis,
dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat filsafat. Secara bahasa
realis ini bertitik tolak dari kata latin yang mempunyai arti sungguh-sungguh,
nyata benar adanya. Sebagai aliran etis realisme ini mengakui adanya faktor
etis yang dialami, entah itu berkaitan dengan hidup, perilaku, dan perbuatan
konkret, terlepas dari indra dan budi yang mengerti (faiz mansur). Selaras
dengan pendirianya tentang yang ada, dalam prinsip etis dan mengejar cita-cita
etis, realisme menyesuaikan dengan hidup nyata. Artinya ia menolak paham yang
hanya berpegang pada prinsip etis dengan alasan tidak mungkin dilaksanakan
(tidak realistis) Dalam setiap melaksanakan prinsip dan cita-cita etisnya paham
ini selalu memperhitungkan semua faktor; situasi, kondisi, keadaan, ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya dan orang-orang yang terlibat.
Namun setidaknya sastra
realisme rosialis pernah punya rumusan yang cukup valid. Apa yang di ungkapkan
oleh Fokkema D.W dan Elrud Kunne-Ilsch dalam buku Teori Sastra Abad Keduapuluh
(Gramedia;1998) setidaknya mengambarkan rumusan konkret tersebut. Mereka berdua
menuliskan kriteria dalam tiga dasar pokok: 1) kriteria penafsiran determinisme
ekonomi yang menyangkut pertanyaan apakah karya sastra mengambarkan
perkembangan-perkembangan lebih maju atau lebih mundur berdasarkan
ekonomi;2)kriteria probabilitas kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan kode sastra pada zamannya; dan 3) kriteria (selera) pribadi, misalnya tulisan-tulisan Aeschylus, Shakespeare dan Goethe, yang termasuk daftar kesustraan pada
zamannya. Secara general realisme sosialis menginginkan keharmonisan antara kenyataan dan idea. Kenyataan harus di nyatakan sebagai mana adanya, menurut proposisi aslinya, sementara idea harus di sandarkan pada konteks kondisi obyektif. Hal yang paling prinsipil dari semuanya adalah semangat ideologi terhadap perjuangan klas bagi kaum tertindas (proletariat). Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai pemikiran realisme sosialis Mulai dari Maxim Gorki, Lu Hsun, George Lukacs, bahkan sampai Pramudya Ananta Toer.
ekonomi;2)kriteria probabilitas kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan kode sastra pada zamannya; dan 3) kriteria (selera) pribadi, misalnya tulisan-tulisan Aeschylus, Shakespeare dan Goethe, yang termasuk daftar kesustraan pada
zamannya. Secara general realisme sosialis menginginkan keharmonisan antara kenyataan dan idea. Kenyataan harus di nyatakan sebagai mana adanya, menurut proposisi aslinya, sementara idea harus di sandarkan pada konteks kondisi obyektif. Hal yang paling prinsipil dari semuanya adalah semangat ideologi terhadap perjuangan klas bagi kaum tertindas (proletariat). Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai pemikiran realisme sosialis Mulai dari Maxim Gorki, Lu Hsun, George Lukacs, bahkan sampai Pramudya Ananta Toer.
Karena persoalan komitmen dan
keberpihakan inilah yang kemudian sering dikatakan oleh berbagai macam
sastrawan idealis-borjuistik dengan klaim bahwa sastra marxis lebih
mengutamakan visi politik (kepentinganya) dari pada mengutamakan netralitas dan
kebebasan ekspresinya. Realisme sosialis yang paling dominan memang tidak
mengelak dari persoalan ini. Aturan garis ini memang terkesan menjurus dalam
satu format ideologi kepentingan partai.
Pramudya ananta toer dan menurut kubu Lekra, meletakkan “kenyataan
dan kebenaran” yang lahir dari “pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam
masyarakat maupun di dalam hati manusia” sebagai dasar material kesenian. Dari
situ, akan terlihat sejumlah gerak maju dan “hari depan” manusia. Dengan
demikian, berlaku kesimpulan bahwa “seni untuk rakyat”.
Di
Indonesia, realisme sosialis dikembangkan oleh Lekra atas dasar keberpihakan
kepada rakyat daripada atas logika marxisme. Kedekatan realisme sosialis dengan
marxisme terletak pada semangat, kesamaan perjuangan, dan pilihan hidup. Tidak
terbukti bahwa hubungan keduanya merupakan hubungan organisatoris meskipun
banyak anggota Lekra juga anggota PKI (h.20 buku “Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis“).
0 komentar:
Posting Komentar