Besi
adalah salah satu unsure terbanyak dalam lapisan kulit bumi, tetapi defisiensi
besi adalah penyebab anemia tersering, yang menngenai sekitar 500 juta orang
diseluruh dunia. Hal ini terjadi karena tubuh mempunyai kemampuan yang terbatas
untuk mengabsorpsi besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang
berlebihan akibat pendarahan (Hoffbrand, 2005).
Besi
merupakan unsur mikro (trace element) yang berperan penting dalam proses
metabolisme tubuh. Besi berperan dalam tubuh pada proses respirasi seluler.
Besi merupakan komponen hemoglobin, myoglobin,dan cytochrome, terdapat juga
pada enzim katalase dan peroksidase. Didalam semua komponen tersebut besi
sebagai porphyrin. Besi yang tersisa didalam tubuh berikatan dengan protein,
sebagai protein penyimpan (ferritin dan hemosiderin) dan bentuk transport
(transferin). Senyawa yang mengandung besi bagi tubuh berperan dalam:
pengangkutan (carrier) O2 dan CO2, pembentukkan sel darah merah, sebagai
katalisator pembentukkan betakaroten menjadi vitamin A, sintesis collagen,
sintesis DNA, detoksifikasi zat racun pada hepar, transport elektron pada
mitokondria, dan proliferasi dan aktivasi dari sel T, sel B dan sel NK
(Sudarmadji, 1996).
Zat
besi dalam tubuh manusia erat dengan ketersediaan jumlah darah yang diperlukan.
Dalam tubuh manusia zat besi memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu untuk
mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan mengangkut elektron di dalam
proses pembentukan energi di dalam sel ( Garrow, 1993).
Besi
terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa: (1) senyawa besi
fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2)
besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang; (3)
besi transport, besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya
untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lain (Sudoyo, 2006).
Besi
dalam makanan terdapat dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non heme. Besi heme
terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan seperti dalam daging dan ikan.
Tingkat absorpsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga
mempunyai bioavailabilitas tinggi. Sedangkan besi non heme terdapat dalam
sayuran, biji-bijian dan buah-buahan. Tingkat absorpsinya rendah rendah,
dipengaruhi oleh bahan pemacu atau bahan penghambat sehingga
bioavailabilitasnya rendah (Tranggana, 2009; Sudoyo, 2006).
Sebagian
besar besi dalam diet (88%) berupa besi non heme dan terutama terdiri atas
garam besi dan besi non heme dibebaskan dari ikatan organik di dalam lambung
(Litwin, 1998).
Jumlah
besi dalam kompartemen tubuh yaitu dalam bentuk transferin 3-4 mg, hemoglobin
dalam sel darah merah 2500 mg, dalam bentuk mioglobin dan berbagai enzim 300
mg, disimpan dalam bentuk feritin dan dalam bentuk hemosiderin 1000 mg. Tidak
ada jalur fisiologis untuk pengeluaran Fe dari tubuh, sehingga absorbsi diatur
secara ketat melalui duodenum proksimal. Pada keadaan normal tubuh akan
kehilangan 1 mg besi per hari dan akan digantikan melalui absorpsi (Sudarmadji,
1996)
Pertukaran
besi dalam tubuh merupakan lingkaran tertutup yang diatur oleh besarnya besi
yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologis bersifat tetap. Besi
yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi
dalam jumlah yang sama melalui deskuamasi sel epitel usus. Besi dari usus dalam
bentuk transferin akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag
dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoiesis
sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit yang beredar secara efektif di sirkulasi
membutuhkan 17 mg besi, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan di
makrofag karena terjadinya eritropoiesis non efektif (hemolisis intramedular).
Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar juga akan dikembalikan ke
makrofag setelah mengalami proses penuaan, yaitu sebesar 17 mg (Setiabudy,
2011).
Transportasi
dan penyimpanan besi terutama diperantarai oleh tiga protein – transferin,
reseptor transferin dan feritin. Transferin mengangkut besi ke jaringan yang
mempunyai reseptor transferin, khususnya eritroblas dalam sumsum tulang, yang
menggabungkan besi menjadi hemoglobin. Sebagian besi disimpan dalam sel
retikuloendotel sebagai feritin dan hemosiderin. Kadar feritin dan reseptor
transferin (TfR) berkaitan dengan status besi sehingga kelebihan besi
menyebabkan terjadinya peningkatan feritin jaringan dan penurunan TfR,
sedangkan pada defisiensi besi feritin rendah dan TfR meningkat (Hoofbrand,
2005)
Tubuh
mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi dari
usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi paling banyak
terjadi pada bagian proksimal duodenum. Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3
fase (Gropper, 2009) :
1. Fase luminal besi pada makanan
diolah di lambung lalu siap diserap di duodenum.
2. Fase mukosal proses penyerapan dalam mukosa usus yang
merupakan proses aktif.
3. Fase korporeal meliputi proses transportasi besi dalam
sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi
oleh tubuh.
Absorbsi
besi akan meningkatkan bila dikomsumsi bersama dengan asam Askorbat (vitamin C
) yang banyak terdapat pada buah-buahan tertentu. Faktor penghambat absorbsi
besi diantaranya adalah pytat, besi berikatan pada senyawa fenolik (kopi, teh,
sayuran tertentu, bumbu tertentu), magnesium dan kalsium ( misalnya dalam susu
dan keju).
Dalam
diet sebagai besi heme (Fe3+) yang berasal dari hewani dan besi non heme (Fe2+)
yang berasal dari nabati. Besi diabsorbsi dalam bentuk Fe2+, reduksi Fe3+
menjadi Fe2+ oleh enzim ferireduktase. Enterosit di duodenum proksimal berperan
dalam absorbsi Fe. Besi diangkut dalam tubuh adalah dalam bentuk transferin.
Konsentrasi Transferin dalam plasma sekitar 300 mg/dL.
Absorpsi
besi dipengaruhi oleh 2 faktor utama :
Ø
Regulator
kebutuhan besi (Hepcidin)
Hepsidin merupakan pengatur besi
dalam tubuh, di mana molekul ini akan meningkat saat terjadi inflamasi melalui
pelepasan IL-6 dari makrofag. Adanya hepsidin menyebabkan menurunnya pelepasan
besi dari makrofag. Hepsidin pada enterosit dapat menghambat kerja ferroportin,
sehingga absorbsi besi untuk dibawa ke hati berkurang (Setyabudy, 2011)
Ø
Regulator
Hematopoesis
Kalau
ada hipoksia jaringan yang akan dimonitor oleh ginjal. Sebagai respons ginjal
akan mengeluarkan hormon eritropoetin untuk merangsang eritropoesis dalam
sumsum tulang. Regulator ini lebih penting dari regulator pentimpanan, namun
demikian regulator penyimpanan memegang peran yang cukup penting dalam mgatur
kebutuhan besi yang meningkat dan dalam mencegah kelebihan besi (Tranggana,
2009)
0 komentar:
Posting Komentar